Sejatinya, pemerintah
Republik Indonesia secara resmi mengeluarkan larangan bermain judi sejak
tahun 1970-an. Melalui Undang-Undang No.7 tahun 1974 tentang Penertiban
Perjudian, segala praktek perjudian di Indonesia dihapus karena hal itu
bertentangan dengan agama, dan moral Pancasila.
Namun
sebelum undang-undang itu dibuat, perjudian di Indonesia merupakan
sesuatu yang legal. Bahkan pemerintah menjadi fasilitator jenis
perjudian lain yang disebut “undian berhadiah”. Para penggila judi pun
turut senang dibuatnya.
“Dengan
demikian yang nampak sekarang ini memang adanya pergesaran nilai di
masyarakat. Segala macam bentuk perjudian dilarang, tapi pada saat yang
sama dilegalisir” tulis M. Syafi’I Anwar dalam “Dana Pelajar pun
Menjamin Porkas”, termuat dalam Panji Masyarakat No.507, 21 Juni 1986.
Keputusan Pemerintah
Tahun
1960-an di Indonesia berkembang jenis undian berhadiah legal yang
dikeluarkan oleh Yayasan Rehabilitasi Sosial. Yayasan ini dibentuk oleh
pemerintah untuk urusan-urusan sosial. Karena keperluan dananya begitu
besar, dipilihlah undian berhadiah sebagai salah satu cara untuk
menutupinya.
Pengundian
hadiah Yayasan Rehabilitasi Sosial dilakukan setiap satu bulan sekali.
Nilainya pun cukup fantastis –untuk ukuran tahun 1960-an– mencapai
500.000 rupiah. Sementara nilai terendahnya berkisar antara
10.000-20.000 rupiah.
Tidak
hanya undian hadiah milik pemerintah, masyarakat pun dihibur oleh jenis
perjudian lain yang tidak berizin. Namanya ”Lotere Buntut”. Cara
memainkannya hanya dengan menebak dua angka terakhir undian berhadiah
yang dikeluarkan Yayasan Rehabilitasi Sosial.
Lotere
Buntut ini bertebaran hingga ke pelosok-pelosok. Sasarannya adalah
petani, buruh, dan pedagang-pedagang kecil. Tanpa memerlukan peraturan
yang sulit, para pecandu permainan ini dapat langsung memasangkan
taruhannya. Besaran hadiah yang didapat pun cukup menggiurkan, berkisar
antara 60.000-80.000 rupiah.
Di
ibu kota, gubernur Ali Sadikin membuat gempar. Ia melegalkan permainan
judi yang dikenal sebagai Nalo (Nasional Lotre) berdasarkan
Undang-Undang No.11 Tahun 1957 tentang tanggung jawab pemerintah
terhadap daerahnya sendiri. Namun di balik pro kontra yang menyeret Ali
Sadikin, permainan judi itu terbukti mampu membangun Jakarta menjadi
lebih baik. Banyak infrastruktur yang dibangun dan pemerintah juga dapat
memenuhi kebutuhan masyarakat kala itu.
Minat
masyarakat terhadap undian hadiah dan perjudian sangat tinggi. Hal itu
tentu menguntungkan pemerintah dan para pihak terkait. Namun bagi
Presiden Sukarno permainan semacam itu justru dinilai sebagai perusak
moral bangsa.
“Kegiatan
ini (perjudian) sempat berhenti di tahun 1965 ketika Presiden Sukarno
mengeluarkan Keppres No.113 Tahun 1965 yang menyatakan lotre buntut
bersama musik ngak-ngik-ngok merusak moral bangsa dan masuk dalam
kategori subversi.” tulis Denny J.A dalam Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda mengenai Demokrasi di Indonesia.
Dengan
dikeluarkannya keputusan presiden itu, ditambah buruknya sistem yang
dibuat pihak pengelola, undian hadiah Yayasan Rehabilitasi Sosial pun
ditutup. Namun tidak benar-benar dihilangkan. Hanya berganti nama, pada
1978, menjadi Badan Usaha Undian Harapan dengan programnnya Sumbangan
Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB).
Dalam laporan Tempo
“Wajah Lotre Silih Berganti”, 20 November 1993, SSB mengeluarkan kupon
undian berhadiah yang diberi nama Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah
(TSSB) atau Kupon Sumbangan Sosial Berhadiah (KSSB).
“Kebijakan baru pemerintah ditengarai sebagai ajakan judi terselubung dengan mengganti namanya” tulis Wahyu Lumaksono dalam Legalisasi Porkas dan Dampaknya terhadap Masyarakat pada Tahun 1985-1987.
Pada
1979 undian hadiah SSB diberlakukan. Sebanyak 4 juta kupon disebar,
diundi setiap dua minggu sekali. Pengelolaannya diserahkan kepada
Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang berpusat di
Jakarta.
Laporan Kedaulatan Rakyat
27 Maret 1986, menyebut undian SSB setiap tahunnya memperoleh omzet
kurang lebih 1 triliun rupiah. Hingga tahun 1985 sebanyak 2,5 miliar
uang hasil undian, dari 4 juta lembar kupon yang terjual, disebar untuk
keperluan sosial dan kemanusiaan.
Judi Olahraga
Bersamaan dengan penyebaran undian hadiah SDSB, pemerintah mengeluarkan jenis judi legal lain yakni Porkas.
Akronim dari Pekan Olah Raga dan Ketangkasan. Undian berhadiah ini
berada di ranah olahraga, dan sepak bola menjadi lahan basah untuk
praktek perjudian ini.
Sebelum
direalisasikan, Presiden Soeharto mengirim Menteri Sosial Mintaredja
untuk melakukan studi banding ke Inggris. Tidak main-main, pemerintah
mempelajari sistem undian berhadiah ini selama dua tahun. Mereka ingin
menciptakan model undian tanpa meninmbulkan ekses judi.
Di Inggris sendiri jenis undian berhadiah menggunakan perhitungan-perhitugan yang sistematik. Dalam Managing National Lottery Distribution Fund Balances,
yang dikeluarkan oleh lembaga resmi Inggris, menjelaskan perhitungan
lotere di negara itu bukan semata-mata tebakan saja, tetapi semacam
permainan berhitung yang rumit. Pemerintah Indonesia mencoba melakukan
hal yang sama.
Setelah
melalui serangkaian penelitian, porkas akhirnya diresmikan pada 1985.
Aturannya mengacu pada UU No. 2 Tahun 1954 tentang undian. Kemudian
diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85
bertanggal 10 Desember 1985.
Pemerintah
mengklaim porkas berbeda dengan undian hadiah berbau judi sebelumnya.
Dalam porkas tidak ada tebakan angka, melainkan penebakan
menang-seri-kalah. Peredarannya pun hanya sampai tingkat kabupaten, dan
batasan usianya 17 tahun.
Para
pembeli kupon hadiah ini akan bertaruh untuk 14 klub sepak bola di
divisi utama. Setelah 14 klub melakukan pertandingan –berjalan selama
seminggu– hadiah akan diundi. Pembagian hadiahnya: 50-30-20, berurutan
penyelenggara tebakan-pemerintah-penebak.
Komentar
Posting Komentar